Di tengah perkembangan period digital, strategi pemasaran telah mengalami berbagai improvisasi, hal ini mengakibatkan banyak model di Indonesia mulai mempertanyakan, apakah strategi pemasaran Micro dan Macro influencer masih efektif untuk digunakan?.
“Banyak teman-teman saya pengusaha sepatu dan style yang menyampaikan keluhan di salah satu platform media, bahwasanya KOL/Influencer sudah tidak efisien, tetapi beberapa model di dunia masih menggunakan Influencer, jadi sesuatu pertanyaan bisa dijawab kalau ada datanya, jika tidak ada datanya bagi saya itu adalah asumsi, semua asumsi adalah hipotesa, harus dibuktikan dengan analysis”.
— dr. Tirta Mandira Hudhi, MBA
Pertanyaan ini akhirnya terjawab lewat tesis yang dilakukan oleh salah satu influencer style yang menempuh gelar magister di SBM ITB terhadap model Piero Indonesia, sebuah merek sepatu lokal yang mencoba memahami apakah strategi ini masih layak untuk diterapkan dalam Advertising Technique mereka.
Sebelum membahas lebih dalam, untuk menilai efektifitas dari suatu strategi sebuah tim pemasaran harus menentukan tujuan atau objektifitas dari setiap strategi yang diterapkan, apakah untuk meningkatkan Model Belief, Model Picture, Model Consciousness, atau Gross sales.
Hasil tesis tersebut didapatkan melalui survey dengan 339 responden di Jakarta yang memiliki perbedaan pada umur, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan/standing, serta preferensi sepatu. Peneliti memilih dua Micro dan Macro Influencer untuk dijadikan sebagai subjek penelitian, yaitu Adityalogy (Anugrah Aditya) sebagai Micro Influencer dan Ari Lesmana sebagai Macro Influencer. Untuk meningkatkan spesifikasi dari strategi ini kemudian peneliti juga memisahkan gaya bahasa Influencer dalam penyampaian kampanye pada suatu model tertentu, yaitu antara Onerous Promoting dan Tender Promoting, sehingga dalam hasilnya bisa dikategorikan dalam empat kesimpulan.
Kesimpulan atau Interpretasi yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Micro Influencer dengan penyampaian Tender Promoting → Efektif untuk meningkatkan Model Belief dan Credibility. Contoh, beberapa model seperti Seize, Traveloka, Gojek melakukan marketing campaign di X (Twitter) secara comfortable promoting karena ini akan menghasilkan interaksi yang kuat antara Influencer dan masyarakat. Rata-rata Engagement Fee yang dihasilkan bisa mencapai lebih dari 4%.Micro Influencer dengan penyampaian Onerous Promoting → Efektif untuk meningkatkan antara Consciousness dan Buying Determination/Gross sales. Fenomena ini banyak ditemui pada beberapa platform yang memiliki sistem affiliate atau taplink, seperti TikTok, Tokopedia, dan Shopee. Strategi ini dapat merangsang impulsifitas dari masyarakat untuk melakukan pembelian.Macro Influencer dengan penyampaian Onerous Promoting → Efektif untuk Immediate Gross sales, jadi untuk mengejar OpEx/Cashflow banyak brand-brand melakukan marketing campaign dengan rent Macro Influencer ditambah promo atau low cost. Contoh, pada occasion ramadhan beberapa model style akan membuat promo bersama dengan Macro Influencer untuk membeli baju muslim ataupun aksesoris lainnya.Macro Influencer dengan penyampaian Tender Promoting → Pada strategi ini kurang efektif untuk dilakukan karena masyarakat telah mengalami krisis identitas.
Empat poin di atas menjadi jawaban dari pertanyaan untuk pemangku kepentingan model, bahwasanya asumsi mereka tidak bisa dijadikan dasar atas menurunnya efisiensi dari Micro dan Macro Influencer, jadi untuk menilai hasil dari Advertising Technique perlu diketahui tujuan dan objektifnya. Sebagai contoh, goal atau objektifnya adalah meningkatkan gross sales atau penjualan, sehingga yang dihitung adalah ROAS (Return on Advert Spend) perbandingan antara Income dan Advert Spend (Biaya Iklan). Oleh karena itu, pentingnya untuk menentukan objektif dari strategi pemasaran yang akan dilakukan agar tidak terjadi kebocoran pada arus kas model ataupun perusahaaan.